UN Tanpa Kecurangan, Mungkinkah?
UN Tanpa Kecurangan, Mungkinkah?
Pelaksanaan ujian nasional
(UN) jenjang SMA, MA, SMK, dan SMLB digelar 14-16 April 2014, sedangkan untuk
program Paket C (IPA, IPS, kejuruan) periode I pada 14-16 April 2014 dan
periode II pada 19-22 Agustus 2014. Untuk kejar paket B/Wustha, periode I
diadakan pada 5-7 Mei 2014, sedangkan SMP,MTs, dan SMPLB dilaksanakan pada 5-8
Mei 2014.
Para siswa, orang tua, dan
guru telah mempersiapkan diri meraih sukses menghadapi UN. Segala persiapan
lahir dan batin dilakukan dalam rangka mencapai keberhasilan di UN. Itu mulai dari mengikuti workshop sukses UN, memperbanyak jam
pelajaran, ikut les atau bimbingan belajar, berburu kisi-kisi soal, try out UN, supervisi persiapan UN,
hingga kegiatan doa bersama atau istigasah. Semua itu dilakukan untuk sukses di
UN dengan kelulusan yang berkualitas.
Tapi, fenomena ini
menunjukkan betapa dunia pendidikan telah dikelola visi yang dangkal dan lebih
suka mencari jalan pintas. Kedangkalan itu terjadi karena pendidikan hanya
mengutamakan target akhir lulus UN, memperalat siswa demi kepentingan dan nama
baik sekolah dengan cara membuat siswa belajar secara intensif menjelang UN. Sementara itu, dalam praksis harian di
sekolah selama tiga tahun, siswa tidak pernah diajarkan artinya bertekun dan
belajar serius. Menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal
dalam belajar sering terlewatkan di fase ini karena pendidik dan siswa
berpikir, ujian masih jauh.
Dunia pendidikan bukan dunia
sulap yang bisa membuat hal-hal aneh dalam sekejap. Belajar membutuhkan
ketekunan, konsistensi, serta keseriusan dari pendidik dan siswa. Kesungguhan
ini kian terbantu dengan menciptakan iklim harian dan kultur sekolah yang
mendukung siswa gemar belajar, tanpa dipaksa atau diancam perolehan nilai.
Visi pendidikan itu
seharusnya bersifat konsisten, konkret, dan mengembangkan pendampingan siswa
secara intensif. Hal tersebut seharusnya diterapkan sejak mereka memasuki tahun
ajaran baru sampai menghadapi UN (Doni Koesoema A, 2009).
Nahasnya, UN tak memacu
budaya belajar, tetapi memicu kecurangan. Pertanyaannya, apakah nilai UN yang
tinggi diperoleh dengan kejujuran nurani? Mungkinkah pelaksanaan UN tahun ini
tanpa kecurangan? Memang diakui,
penyelenggaraan UN selama ini masih menemui banyak kerikil yang menyebabkan UN
cacat dalam pelaksanaan. Pada akhirnya, ini menyebabkan kualitas hasil UN
dikatakan tidak jujur dan kredibel.
Kasus penyimpangan UN itu,
seperti siswa yang menyontek, kebocoran soal, perjokian, jual-beli kunci
jawaban, guru yang menyebar kunci jawaban, instruksi kepala dinas pendidikan
untuk membocorkan soal, siswa pandai yang ditunjuk menukar dan memberi jawaban
kepada teman-teman seruangan, hingga adanya tim sukses UN.
Kecurangan dalam UN seolah
menegaskan pendapat almarhum Prof Koentjaraningrat dalam bukunya, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Ia menyebutkan lima sifat
mentalitas yang tidak sesuai pembangunan. Salah satunya mentalitas yang suka
menerabas. Kecurangan dalam UN terasa
sekali menunjukkan mentalitas menerabas, sikap menghalalkan segala cara demi
tujuan lulus dan sukses UN. Tak bisa dimungkiri, kecurangan UN selama ini telah
melibatkan siswa, guru, kepala sekolah, dan pejabat daerah.
Mengapa mereka sepakat
beramai-ramai melakukan kecurangan? Terlalu negatif bila dijawab hal itu
menunjukkan kemerosotan moral yang amat parah. Tanpa menyangkal bahwa gejala
kemerosotan moral memang selalu terjadi. Sulit menutup mata terhadap penafsiran
gejala itu menunjukkan rasa tidak percaya diri yang sedemikian besar dalam
menghadapi UN (Denni B Saragih, 2008).
Hemat penulis, upaya
meminimalisasi tindakan curang dalam UN merupakan tanggung jawab bersama.
Langkah menteri pendidikan dan kebudayaan yang menandatangani pakta integritas
bersama kepala daerah dan kepala dinas di Tanah Air adalah upaya mewujudkan
pelaksanaan UN dengan kejujuran. Upaya ini perlu diapresiasi dan didukung. Jika
landasan kejujuran ini disertai kerja keras yang efektif, hasil UN akan berkualitas
dan menciptakan prestasi.
Mencegah kecurangan dalam UN
kuncinya harus betul-betul kembali ke aturan, serta optimalisasi pengawasan
dari tim yang kini sudah tersedia. Secara kasat mata, mekanisme seperti itu
meminimalisasi siapa pun yang akan berbuat curang dalam UN. Mereka harus betul-betul jeli
menangkap kemungkinan di mana kecurangan UN itu bakal terjadi. Setelah pakta
integritas, tindakan tegas (hukum) perlu diberlakukan terhadap setiap bentuk
kecurangan untuk memberi efek jera. Lebih penting lagi, harus ada iktikad yang
lebih serius dari pengelola pendidikan.
Pengelola bahkan harus siap
malu dan dicap gagal terkait hasil UN. Sikap-sikap inilah yang sebenarnya juga
diuji pada UN. Jika persentase ketidaklulusan peserta UN tahun ini meningkat,
terimalah dengan ikhlas dan besar hati. Jangan menipu diri sendiri dan
pemerintah dengan segala kecurangan untuk mengubah dan memanipulasi realitas.
UN 2014 telah memberi celah
dan ruang kewenangan bagi sekolah guna turut mewarnai veto kelulusan siswanya.
Udara segar yang diembuskan pemerintah adalah sekolah diberi peran 40 persen
penilaian, sedangkan 60 persen masih mengacu nilai mata pelajaran yang diujikan
dalam UN. Tingkat kecurangan UN
tahun ini akan surut bahkan kering bila semua pihak menyahuti perubahan UN
dengan positif dan koperatif. Usaha keras di tingkat sekolah untuk mendongkrak
perolehan nilai maksimal terhadap bobot 40 persen semestinya dimulai hari ini
dan terus berlanjut secara kualitatif.
Hari ini peserta didik mulai
kita bukakan matanya terhadap pentingnya menjalani proses belajar dengan
sungguh-sungguh agar memperoleh nilai yang objektif. Orientasi ini kita kemudikan
tidak hanya untuk menghadapi pertarungan menjawab soal mata pelajaran yang ada
di UN, tetapi juga menguasai kompetensi lain, terlebih lagi yang bermuatan life skills.
Perlu pembuktian bahwa UN
dilaksanakan penuh kejujuran, tanggung jawab, transparan, berkeadilan, dan
berkualitas. Nuansa kemurnian dan keindahan UN tidak perlu dicemari skenario
dan modus kecurangan lama, apa pun alasannya. Selamat mengerjakan UN dengan
penuh kejujuran!
*Penulis adalah pendidik, mahasiswa pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
*Penulis adalah pendidik, mahasiswa pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Analisis
Artikel berjudul “UN Tanpa Kecurangan, Mungkinkah?” ini memaparkan
mengenai masalah pendidikan di
Indonesia, terkait kebijakan pemerintah untuk menerapkan UN sebagai
salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Penulis membahas mengenai hal-hal
terkait persiapan lahir dan batin yang di lakukan untuk mencapai keberhasilan
di UN dengan kelulusan yang berkualitas. Secara tidak langsung, penulis menolak
kebijakan pemerintah yang menerapkan UN di sekolah karena dengan di terapkannya
UN di sekolah akan menjadikan visi serta tujuan dari pendidikan tersebut
menjadi dangkal yaitu untuk mencapai target kelulusan UN. Saya setuju dengan
pendapat penulis, karena pengertian dari pendidikan itu sendiri dalam
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (1) tertulis “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.”
Di lihat dari arti
pendidikan itu sendiri menekankan akan pentingnya mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran yang mendorong peserta didik secara aktif mengembangankan potensi
dirinya. Sedangkan suasana dan proses pembelajaran yang demikian tidak terwujud
dengan berlakunya sistem ujian nasional yang mengutamakan kegiatan mendengar,
mencatat, dan menghafal pengetahuan. Jadi jika di lihat dari tujuan ujian
nasional untuk mengevaluasi pendidikan itu salah, namun akan benar jika tujuan
dari ujian nasional tersebut untuk meningkatkan pendidikan.
Penulis menyebutkan bahwa
dengan di terapkannya ujian nasional akan membuat siswa tidak belajar secara
intensif, ketika belum menjelang waktu ujian nasional. Saya tidak sependapat
dengan penulis karena setiap tahun ajaran pasti sekolah mengadakan ujian, dan
hal ini akan membuat siswa belajar sungguh-sungguh karena pihak sekolah akan
mengevaluasi hasil belajar siswa setiap semesternya.
Penulis memaparkan dampak
lain dari kebijakan ujian nasional ialah UN tidak memicu budaya belajar, tetapi
memicu kecurangan. Hal ini tidak bisa di pungkiri, karena selama ini berbagai
pihak terlibat dalam kecurangan UN dari siswa, guru, kepala sekolah, hingga
pejabat daerah. Guru akan membantu peserta didik untuk menghadapi ujian dengan
cara melatih peserta didik menjawab soal-soal ujian. Sekolah dan pemerintah
daerah akan berusaha agar siswanya banyak yang lulus termasuk dengan cara-cara
yang tidak etis semisal pembentukan “tim sukses”. Hal ini terjadi karena
menyangkut akreditasi dan citra sekolah serta daerah yang berpengaruh terhadap
pandangan masyarakat terhadap sekolah dan daerah tersebut. Sekolah yang
siswanya banyak yang tidak lulus akan dianggap sebagai sekolah tidak bermutu sehingga
tahun berikutnya masyarakat tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah
tersebut. Hal ini menunjukan terjadinya kemerosotan moral di Indonesia. Saya
sependapat dengan penulis karena demi mencapai kelulusan yang berkualitas dan
demi kepentingan sekolah, akan menimbulkan sikap menghalalkan segala cara demi
tujuan dan lulus UN dari berbagai pihak.
Penulis
memaparkan berbagai hal dan tindakan yang perlu di lakukan guna mencegah
kecurangan dalam UN, karena hal ini merupakan tanggung jawab bersama. Saya
setuju dengan penulis karena dengan tindakan seperti yang penulis paparkan karena
akan meminimalisir kecurangan dalam UN serta menjadikan pelaksanaan ujian
nasional dengan terlandasi kejujuran. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama
yang harus di bangun dengan kesadaran diri masing-masing. Penulis juga
menjelaskan bagaimana sikap yang seharusnya di ambil berbagai pihak yang
terlibat dalam UN, supaya ujian nasional yang di adakan oleh pemerintah akan
terlaksana dengan baik yang di landasi dengan kejujuran dan disertai kerja keras yang
efektif, sehingga hasil UN akan berkualitas dan menciptakan prestasi.
Penulis menjelaskan bahwa
dengan adanya perubahan pada sistem ujian nasional pada pelaksanaan UN 2014
akan menjadikan tingkat kecurangan UN menjadi surut bahkan kering. Sehingga UN dilaksanakan dengan penuh
kejujuran, tanggung jawab, transparan, berkeadilan, dan berkualitas. Semoga
dengan kebijakan-kebijakan baru yang di buat pemerintah akan menjadikan
pendidikan di Indonesia mejadi lebih baik dan Indonesia akan menjadi negara
maju.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar